Sang Prabu Mahesasura ialah seorang raja berkepala Kerbau. Ia bertahta di kerajaan Goa Kiskenda, yaitu sebuah kerajaan berupa Goa yang berpintu Batu besar. Dan ia mempunyai dua patih bernama Lembusura, berkepala Lembu dan Jatasura berkepala Jata. Sang Prabu Mahesasura ingin mengambil istri bernama Dewi Tara dari Kahyangan.
Bathara Guru tidak setuju atas permintaan Prabu Mahesasura itu, tetapi tidak berani menentangnya, sebab ketiga Raksasa (Mahesasura, Lembusura dan Jatasura) itu sangat sakti dan tidak dapat mati. Kalau yang satu mati tetapi kemudian dilompati oleh lainnya maka ia akan hidup kembali, demikian seterusnya sehingga mereka sulit untuk dikalahkan.
Pada suatu ketika, Bathara Guru menyuruh Sanghyang Kanekaputra (Bethara Narada) untuk meminta bantuan kepada Resi Subali untuk mengalahkan ketiga Raksasa itu. Dengan diberi janji apabila Resi Subali berhasil mengalahkan mereka maka Dewi Tara menjadi hadiahnya untuk diperistri.
Berangkatlah Resi Subali dikawal oleh adiknya yaitu Sugriwa ke Goa Kiskenda. Sesudah sampai di Goa Kiskenda, Subali berpesan kepada adiknya Sugriwa, “Apabila ada darah putih mengalir berarti saya kalah perang dan mati maka segeralah pintu Goa Kiskenda kamu tutup dengan batu besar, tetapi bila darah merah yang mengalir berarti mereka kalah dan saya menang”.
Peperangan antara Resi Subali dengan Mahesasura, Lembusura, dan Jatasura sangatlah hebat. Karena Resi Subali tidak dapat mati sedangkan Mahesasura, lembusura dan Jatasura bila di antara mereka ada yang mati dan dilompati oleh lainnya yang masih hidup maka yang mati itu akan menjadi hidup kembali, maka sangat ramailah peperangan di antara mereka itu. Karena kesulitan untuk membunuh musuhnya satu persatu, maka Resi Subali dengan akal kecerdikannya mengambil keputusan untuk mengadu domba ketiga kepala Mahesasura, Lembusura dan Jatasura itu sehingga mereka dapat mati bersama sehingga tidak ada yang dapat menghidupkannya lagi. Kemudian dilaksanakanlah strategi itu dan ketika Mahesasura, Lembusura dan Jatasura diadu kepalanya maka sampyuh (mati bersama-sama), dengan hancurnya ketiga kepala raksasa itu keluarlah otaknya dan mengalir keluar bersama aliran air dari dalam goa tersebut.
Sugriwa setelah melihat darah putih mengalir (yang sebetulnya bukan darah putih tetapi cairan otak dari ketiga Raksasa itu) maka ia mengira bahwa Resi Subali mati, maka segeralah Sugriwa menutup Goa Kiskenda itu dengan batu besar.
Intisari dari ceritera tersebut menerangkan adanya ajaran moral kepada kita sebagaimana dijabarkan berikut ini.
1.Mahesasura, Lembusura dan Jatasura adalah lambang/gambaran kemaksiatan hidup duniawi sebagaimana tercermin dengan gambaran berbadan raksasa (artinya gambaran Hawa Nafsu), dan berkepala hewan (artinya gambaran perbuatannya dipimpin oleh nafsu Hewani).
1.Resi Subali melambangkan nafsu yang tidak terkendali, yaitu sama dengan Hawa Nafsu.
2.Kemaksiatan hidup duniawi dan Hawa Nafsu adalah serupa dan selalu hidup dan tidak pernah mati serta selalu menggoda iman manusia. Selama di dunia, Hawa Nafsu dan kemaksiatan dunia pasti selalu ada, oleh sebab itu manusia diberi kebebasan untuk memilihnya.
3.Resi Subali sebagai gambaran Hawa Nafsu; hawa nafsu itu pada hakekatnya masih dapat diatasi oleh manusia yang beriman, dalam kisah ini digambarkan Resi Subali masih berpihak pada Dewa.
4.Lain halnya dengan kemaksiatan duniawi (dilambangkan dengan Mahesasura, Lembusura dan Jatasura) itu tidak dapat dirubah, oleh sebab itu harus diberantas.
5.Cairan otak Mahesasura, Lembusura dan Jatasura oleh Sugriwa dikira darah Subali melambangkan bahwa antara Hawa Nafsu dan Kemaksiatan Duniawi itu adalah sewarna dan sulit sekali dibedakan.
6.Dengan nafsu membuahkan rasa puas, tetapi dengan hawa nafsu menjadikan rasa kenikmatan yang berakibat melupakan Kesadaran dan membawa manusia ke jurang dosa atau sukerta. Jadi Hawa nafsu dan kemaksiatan duniawi tidakakan dapat membuahkankebahagiaan, yaitu kedamaian, kesejahteraan dan keadilan sebagaimana dilambangkan Dewi Tara.
Narpati Sugriwa menjadi Raja para Wanara, tetapi keadaannya selalu susah, sebab Dewi Tara sebagai istri yang diberikan sebagai hadiah dari Kahyangan ternyata lepas direbut oleh Resi Subali.
Narpati Sugriwa tidak kuasa untuk mengalahkan Resi Subali maka ia selalu maneges kepada Dewa agar diberi petunjuk. Akhirnya Bathara Narada memberi tahu kepada Narpati Sugriwa bahwa yang dapat mengalahkan Resi Subali adalah Ksatria Wiratama yang bernama Ramawijaya. Resi Subali dapat mati apabila dijemparing dengan pusaka jemparing milik Ramawijaya yang bernama Guhyawijaya, yang banyak disebut sebagai Guwawijaya (Guhya berarti gaib, dan wijaya berarti kemenangan; jadi Guhyawijaya berarti kemenangan yang bersifat gaib).
Untuk itu, Narpati Sugriwa memerintahkan kepada para Wanara untuk mencari Prabu Ramawijaya. Dan akhirnya Narpati Sugriwa bertemu dengan Prabu Ramawijaya dan terjadi persetujuan di antara keduanya, dengan isi persetujuannya sebagai berikut:
1.Prabu Ramawijaya menyetujui untuk membunuh Resi Subali, yang akhirnya Resi Subali mati terkena Jemparing Guhyawijaya.
2.Narpati Sugriwa dan para wanara setuju untuk menjadi Balatentara Prabu Ramawijaya untuk mengalahkan Prabu Rahwana dari Kerajaan Ngalengka.
Akhirnya terjadi perang besar antara Prabu Ramawijaya dengan dibantu oleh Balatentara para wanara melawan Prabu Rahwana(Prabu Dasamuka) dari Kerajaan Ngalengka dan hasilnya dimenengkan oleh Prabu Ramawijaya.
Dari sudut pandang ilmu, intisari dari ceritera tersebut menerangkan adanya ajaran moral kepada kita sebagaimana dijabarkan berikut ini.
1.Nafsu (yang dilambangkan Narpati Sugriwa) dapat mengalahkanhawa nafsu (yang dilambangkan Resi Subali) apabila nafsu (Narpati Sugriwa) mengabdi kepada budi luhur (yang dilambangkan Prabu Ramawijaya) penegak karahayon (yang dilambangkan Bathara Wisnu yang manitis ke Prabu Ramawijaya).
2.Hawa Nafsu (yang dilambangkan Resi Subali) ialah nafsu yang dikendalikan oleh keinginan untuk harus tercapainya keinginan, lepas kontrol, bertekad bulat tanpa perhitungan. Hawa nafsu dan Kemaksiatan Duniawi (yang berada dalam satu kantong kehidupan nafsu) sulit untuk dibedakan, sebab Hawa Nafsu di sini merupakan pelaksana nafsu yang sudah lepas kontrol/tak terkendali, yang bersasaran hanya untuk Kepuasan Kenikmatan Duniawi.
3.Mahesasura, Lembusura dan Jatasura adalah lambang dari adanya rasa Kenikmatan duniawi yang membuahkan hasil Kemaksiatan. Jadi ada tiga macam gambaran rasa kenikmatan duniawi, yaitu:
a.Mahesasura, melambangkan Kepuasan Nafsu Birahi,
b.Lembusura, melambangkan Kepuasan Makan dan Minum,
c.Jathasura, melambangkan Kepuasan Permainan dan Madad.
Bagi manusia pencari kepuasan Hawa Nafsu dan Kemaksiatan, mereka memandang bahwa kebahagiaan adalah Kenikmatan. Untuk mencapai kenikmatan duniawi, manusia mengejar kenikmatannya itu dengan berbagai cara, sehingga ia lupa akan adanya kebaikan dan kebenaran, dan biasanya ia rela hancur martabatnya demi kenikmatan duniawi.
4.Dewi Tara adalah lambang kebahagiaan. Kebahagiaan yang dilambangkan Bidadari Kahyangan yang diberi nama Dewi Tara, adalah Perwujudan keluarga yang sejahtera, aman dan damai, karena telah lulus Tapa, Brata dan Samadinya atau telah menemukanrasa sejati.
Nafsu (yang digambarkan Narpati Sugriwa) untuk mendapatkan kebahagiaan (yang digambarkanDewi Tara) harus bersedia untuk melaksanakan darmaning Ksatria yaitu bersemangat yang tidak kunjung padam, yang dalam Wayang digambarkan Resi Subali (Hawa Nafsu berkeblat Dewa atau Hawa Nafsu Positif), untuk mengalahkan kemaksiatan atau Hawa Nafsu Negatif (digambarkan dengan Mahesasura, Lembusura dan Jatasura) yangberada dalam ruang Nafsu (dilambangkan Kerajaan Goa Kiskenda). Narpati Sugriwa dan Resi Subali disraya (diminta) oleh Dewa atau Pepadang (Naluri kebenaran yang terdapat dalam naluri manusia yaitu Percikan Tuhanatau Cetana) untuk berkemampuan:mengarahkan, mengendalikan dan mengatasi nafsu sehingga tidak terjadinya kemaksiatan (dilambangkan Mahesasura, Lembusura dan Jathasura dihancurkan), yang dalam pengertian agama disebut dengan iman atau ketahanan jiwa berke-Tuhanan.
Diceritakan pada suatu saat para Rajaputra dan Kurawa sedang bermain-main melempar Undhi, di suatu tempat lapangan di luar kota Hastina. Saling berganti lempar-melempar Undhi antara putra Pandawa dan putra Kurawa, dikarenakan saling rebut-merebut dan lempar-melempar. Secara tidak sengaja Undhi dilempar oleh Bima dan jatuh tepat ke dalam sumur yang sangat dalam sekali. Para putra tidak ada yang berani mengambil Undhi karena dalamnya sumur dan hanya tertegun mengitari mulut sumur.
Saat itu Durna sedang berada di pinggir lapangan dan melihat para putra sedang bermain Undhi. Pada saat undhi jatuh ke dalam sumur, Durna segera menghampiri para putra, dan berkata, “Kalian para putra sangat gagah dan perkasa tetapi sangat memalukan, hanya mengambil Undhi masuk ke dalam sumur saja tidak mampu mengambilnya. Coba lihatlah Undhi yang akan saya ambil dari dalam sumur”. Durna mengambil Undhi dengan segenggam alang-alang yang dipegang dengan tangan kanan. Alang-alang dilemparkan ke dalam sumur satu persatu. Alang-alang pertama terkena Undhi, alang-alang kedua menyambung dengan alang-alang pertama, begitu seterusnya alang-alang dilemparkan satu per satu dan terjadi saling sambung-menyambung sehingga sampai atas ke mulut sumur. Akhirnya alang-alang ditarik dab Undhi tertarik ke atas dan dipegang oleh Bima.
Melihat kejadian itu para putra Kurawa dan Pandawa terheran-heran, salah satu putra ada yang lari ke Keraton melaporkan kejadian itukepada Resi Bisma, bahwa ada seseorang yang sakti. Karena adanya laporan bahwa di luar kota ada orang yang sakti mandraguna, Resi Bisma segera menjumpainya. Sesudah terjadi pembicaraan antara Resi Bisma dengan Durna, maka Durna dibawa ke Keraton, untuk dijadikan Guru Pandawa dan Kurawa, sekalian diangkat menjadi Parampara Prabu Destrarasta. Pendeta Durna pepethingan para Brahmana adalah sakti mandraguna. Tiap pagi dari matahari terbit sampai sore matahari terbenam, ia memberi pelajaran dan tuntunan Keprajuritan dan Ulahkrida peperangan kepada para putra Pandawa dan Kurawa.
Makna Spiritual dari ceritera Wayang Durna menjadi Guru Pandawa dan Kurawa tersebut adalah:
1.Undhi adalah bola kecil sasaran panah, dalam cerita ini sebagai lambang inti sari lelakon.
2.Pandawa sebagai lambang Pakarti Batin.
3.Kurawa sebagai lambang Pakarti lahir/badani.
4.Pandawa dan Kurawa bermain-main lempar-melempar Undhi melambangkan terjadinya Lelakon, adalah menjadi sumber palajaran untuk pegangan Hidup di Dunia.
5.Sumur adalah sumber airmelambangkan sumber pelajaran atau sumber ilmu.
6.Bima melempar Undhi dan masuk ke dalam sumur melambangkan hidup di dunia adalah bertekad (dilambangkan Bima) belajar dari semua ragam lelakon, intisarilelakon (dilambangkan Undhi) dapat menjadikan pedoman Hidup.
Pelaksanaan Hidup/Kehidupan di dunia di Alam Janaloka
Sebelum kita mempelajari hal-hal yang lebih dalam, Kasunyatan yang nyata kita “Rasakan” dalam badan wadag/badan jasmani/ragawi, adalah:
- Rasa badan dalam bentuk: biasa – enak – sakit.
- Rasa adanya nafsu atau karep/kehendak untuk mendapat: rasa enak – puas – nikmat.
Rasa yang merasakan adanya alam/badan wadag adalah rasa enak – rasa sakit – rasa kehendak/nafsu, maka terjadilah hidup dan kehidupan semua umat atau jana, satu sama lain tidak berbeda yaitu berlangsung dalam alam atau loka yang sama.
Jadi jelaslah bahwa setiap jana (umat manusia) mempunyai alam untuk hidup dan melaksanakan kehidupan. Hal ini berlangsung di alamJanaloka yaitu alam awal dalam berhubungan dengan jagadraya. Alam Janaloka adalah alam dalam keadaan awal, yaitu keadaan manusia sebelum umat (jana) tahu akan perkembangan pikirnya. Untuk itu maka rasa badani juga dinamakan rasa hewani, karena tujuannya hanya untuk mencapai rasa: puas – enak – senang – nikmat, tanpapertimbanganbudi dan pikir. Rasa puas – senang – nikmat itu dapat menghasilkan keselamatan atau kesejahteraan manusia, tetapi sebaliknya hal itu juga dapat mendatangkan kerusakan atau kehancuran hidup manusia.
Puas, enak, senang, dan nikmat yang mendatangkan kerusakan dan kehancuran adalah rasaluar atau rasabadani, suatu rasa yang timbul dan berkembangnya tanpa dikendalikan oleh pikir, rasa ini berlangsung dalam alam janaloka. Guna menghindari kehancuran perlu adanya ilmu dan pengertian yang mampu menyelamatkan rasa badani atau rasa luar dalam janaloka, sebab rasa badani juga sangat dibutuhkan pula guna menerima materi suci yang berupa pelajaran dan pengalaman akan pentingnyajasmani sebagai pelaksana rokhani. Unsur janaloka merupakan unsur pakarti /perilaku/perbuatan, maka menyelamatkan unsur ini adalah sangat penting arti dan perannya bagi tumbuh dan berkembangnya rokhani manusia dalam kesempurnaan hidupnya.Pakarti dalam alam janaloka tanpa memperoleh sinar kebenaran dari sinar rasa sejati (cethana) yaitu melalui guruloka dan indraloka sebagai unsur budi akan menghasilkan perbuatan yang merugikan atau mengotori jiwa/unsur rokhani. Jadi pengaruh dari alam lain sangat diperlukan, sebab dari alam indraloka dan guruloka sebagai unsur budi/pikir tidak akan dapat mewujudkan atau terjadi kenyataan perbuatan.
Untuk itu maka pakarti/perbuatan manusia dari adanya karep – karsa – jiwa tergantung pada pelaksana badani/ragawi di alam janaloka. Pemeliharaan alam janaloka agar tetap dalam kondisi kodrati/alami, merupakan bentuk perjuangan atau lampah bagi siapa pun yang menghendaki kebersihan jiwanya terhadap adanya kekotoran hidup/dosa.
Pengertian pelaksanaan alam janaloka kiranya mudah ditangkap dengan akal dan nalar, tetapi dalam wujud perbuatansangat sukar melaksankannya. Kesulitan manusia dalam melaksanakan perbuatan bersih dikarenakan rintangan atau hambatan tidak hanya berupa sesuatu yang mudah nalar, tetapi juga berupa kekotoran yang bersifat kejiwaan/spiritualyang letaknya dalam misteri rahsa. Untuk itu maka penyelesaiannya tidak lagi hanya dalam pokok pola pikir umum atau intelektualisme, tetapi juga harus dengan pokok pola pikir budaya atau kejiwaan/spiritual.
Alam Janaloka Dalam Pengertian Budaya atau Kejiwaan.
Pengertian spiritual sebagai pokok pola pikir budaya dalam alam Jana Loka menurut budaya Jawa diberikan penjelasan dengan paparan pola pikir budaya yang dilambangkan wayang atau lakon wayang. Jenis wayang dalam alam Janaloka adalah wayang Mahabarata sebagai berikut:
1.Durna sebagai bibit karya dilambangkan dengan berbagai sebutan:
1. Danyang Durna melambangkan peranraksasa
2. Pendeta Durna melambangkan peran hewan
3. Resi Durna melambangkan peran satria
4. Begawan Sakalima (Maharesi) melambangkan peran Dewa
2. Kurawa terdiri dari 100 Satria Kurawa melambangkan 100 macam nafsu (karep) badani manusia.
3. Kala durga adalah raksasa melambangkan sukerta atau kekotoran jiwa (dosa).
4.Kalantaka dan Kalanjaya adalah lambang goda:
·Kalantaka = Citrasena
·Kalanjaya= Citranggada
5. Kalika adalah brekasakan melambangkan rokh jahat atau Sembangrapet.
6. Dewi Kunthi Talibranta melambangkan bibit budi luhur.
8. Pandu Dewanata adalah pelopor hukum pepadang melambangkan bibit pepadang (horisontal)
9. Begawan Abiyasa melambangkan manusia sempurna atau bibit kasunyatan
10.Nangkula dan Sadewa melambangkan karya batin berkepribadian
- Nangkulamelambangkan percaya diri
- Sadewa melambangkanpepadang
11. Naga Cundala terdiri dari naga cundala yang berada di:
a.Bagian atas, disebut: -Sakalima atau Pancaindria.
b.Bagian bawah, disebut: -Kamaloka atau alam mani dan alam manikum
Sakalima Loka atau Pancaindria:
Sakalima adalah penguat berjumlah lima; tanpa penguat sejumlah lima ini, maka hidup tidak berfungsi secara sempurna, dalam arti semua organ hidup dan kehidupan manusia dapat menjalankan fungsinya karena sakalima ini berfungsi sebagai penyebab/ penghubung untuk mendapatkan materi yang dibutuhkan oleh organ hidup lainnya. Yang dikatakan saka atau penguat ialah indria manusia, sakalima artinya indria yang jumlahnya lima yaitu: Hidung, Mata, Telinga, Lidah, Badan/Peraba.
1. Hidung : pencium (pengambu).
-Punya rasa pencium, namanya: mencium.
-Bahan pencium, namanya: bauhan, gandan.
2. Mata: penglihatan (pandulu).
-Punya rasa penglihatan, namanya: melihat.
-Bahan penglihatan, namanya: wujudan, rerupaan
3. Telinga: pendengaran (pangrungu)
-Punya rasa pendengaran, namanya: mendengar.
-Bahan pendengaran, namanya: pendengaran, suara, bunyi
Panca indria adalah alat penghubung atau alat komunikasi manusia sebagai Mikrokosmos dengan Makrokosmos, untuk memperoleh bahan yang kemudian menjadi aspek kejiwaan. Bahan yang diserap masing-masing Indria kemudian masuk ke alamJanaloka menjadi aspekkejiwaan/bibitkarya yang disebut nafsu digambarkan sebagai Durna.
Untuk itu tugas Durna dapat dijelaskan dalam uraian yang bersifat maknawi melalui gegambaran empat macam tugas Durna berikut ini.
a.Durna sebagai bibit karya/Hawa Nafsu atau sebagai pelaksana “ma-lima”, ialah:
1)Main= berjudi.
2)Mangan= pecandu makan.
3)Minum= pemabuk minuman keras.
4)Madad= pemakai candu, narkotik, ganja, dll.
5)Madon= main kelamin atau mesum atau berzina.
Durna sebagai bibit karya “ma-lima” dapatmenimbulkanperbuatanjahat atau angkara. Durna yang berfungsi pelaksanawatak demikian, yaitu watakraksasa, dinamakan DanyangDurna.
b.Durna sebagaibibitkaryaNafsu yang merupakan kebutuhan wajar badani.
Nafsu dengan alat panca indria melakukan/menghubungkankebutuhanbadani dan jiwani dalam tingkatbelumberpedoman pada ilmu atau belum berilmu, sehingga menghasilkan karya perbuatan Durna sebagai guru untuk mengetahui kesalahan dan kebenaran. Jadi bibit karya atau Durna, melakukan perbuatan untuk menghasilkan hasil karya sebagai Guru.
Dengan demikian, berarti bibit karya atau nafsu (yang digambarkan sebagai Durna) adalah nafsu untuk melaksanakan karya kebutuhan jiwa dan badani (yang dilukiskan Durna sebagai guru Pandawa dan Kurawa). Dalam hal ini Durna dipanggil dengan sebutan Pendeta Durna.
Pendeta Durna adalah guru yang sangat saktimandraguna, ahli guna kesaktian, jaya kawijayan, ulah gelarnya barisan serta penggunakan segala senjata. Berkat pelajaran yang disampaikan oleh pendeta durnakepada para putra Pandawa dan Kurawa, maka berbagai kemahiran telah diperolehnya, antara lain:
qBima dan Duryudanaahli peranggada.
qAswatama ahli ilmu dhanurwenda (ahli memanah)
qNangkula dan Sadewa ahli ulah pedang.
qYudistira ahli mangreh turangga (barisan kuda).
qHarjunamenguasai semuanya, terutama dalam ulah jemparing atau memanah, umpamanya:
-Melepaskan agneyastra, ialah jemparingdahana (api).
-Melepaskan barunaastra, ialah jemparingair.
-Melepaskan parjayastra, ialah jemparingmega.
-Melepaskan bayabyastra, ialah jemparingangin.
-Melepaskan parwatyastra, ialah jemparingtanah.
-Melepaskan antardanastra, ialah jemparingnetralisasi.
Pendeta Durna sebagai bibitkaryaalami selaku guru pada pandawa dan kurawa, berarti pancaindria sebagai alat pelaksana karya alami, menjadi perantara atau guru untuk kepentinganbatiniah/pandawa dan lahiriah/kurawa.
Dengan demikian jelas bahwa aspek kejiwaan/nafsu di alam Janaloka yang digambarkan sebagai Pendeta Durna merupakan materi alami yang hanyasatu dan sama diterima oleh organ yang berbeda latar belakang dan perkembangannya. Sehingga bibit yang sama, diterima para PutraPandawa disesuaikan dengan sifat dan budhi nurani Pandawa akan meningkat ke unsurkarsa, sedang yang diterima para Putra Kurawa (duniawi) akan menjadi unsurkarep/nafsu.
Jadi sebagai kesimpulan bahwa hasil karya pancaindria yang alami, demikian masuk ke alam Janaloka menjadi aspekjiwaalami yang dalam perkembangannya dapat menjadi karsa sebagai unsurpositif dan juga dapat menjadi karep sebagai unsurnegatif. Oleh karena itu nafsu dalam alam Janaloka berguna pula untuk mengejar kepuasan keserakahan yang dapat menyesatkan atau untuk mengejar kebaikan budi yang menyelamatkan.
c.Durna sebagai bibit karya karsa yaitu pelaksana tugas insani
Dalam hal Durna sebagai bibit karya karsa yaitu menjalankantugasinsani, Durna bertindak sebagai ksatria, dengan kalima saka (sakalima) yaitu pancaindria menyerapunsur-unsurmakrokosmos untuk dimasukkan ke dalam Janaloka menjadi aspekkejiwaan/nafsu. Sehubungan tugas Durna sebagai ksatria, ia harussenantiasaberdharma baktimenegakkankebenaran, sehingga dengan demikian aspek kejiwaannya secepatnya terbentuk dan berkecenderungan meningkat menjadi beraspek kejiwaan positif yang dinamakan karsa. Hal ini terjadi karena sinarkebenaran bagi seorang ksatria lebih kuat daripada pengaruh negatifyang ada pada nafsunya. Oleh karena itu, maka kecenderungan perkembangan aspek kejiwaan yang adapada dirinya senantiasamengarah kepada kesempurnaanjiwanya.
Kebersihanjiwa dapat dicapai dengan melakukan banyak berbuatkebaikan, memberipertolongan, melakukanjasa kemanusiaan. Jadi pancaindria seorang ksatria ibaratnya sebagai pacul (cangkul) atau arit (sabit) bagi petani (manusia) dalam menanampohonkebaikan.
Buahdari pohon kebaikan dapat dicerna oleh jiwa manusia untuk kesehatan jiwanya. Jadi bibit karya yang digambarkan sebagai Durna dalam alam Janaloka ini bukan Durna sembarang Durna, tetapi Durna yang telah melakukanperbuatan atau kebersihan atau kesempurnaanjiwa. Dengan demikian berarti bahwa bibit karya yang digambarkan sebagai Durna yang telah melaksanakan perjuangan guna kemenangan jiwanya itulah karya perjuangan seorang ksatria Durna. Dalam hal ini Durna dinamakan resi, lengkapnya ResiDurna.
d.Durna sebagai bibit karya pelaksana budhi, yaitu pelaksana tugas Dewa
Durna sebagai bibit karya pelaksana budhi, menggambarkan bahwa aspek kejiwaan yang berupa nafsusedemikian cepat berubah status menjadi aspek kejiwaan berupa karya budhi (berbudhi pekerti luhur) yang menunjang proses penyempurnaan sukma manusia.
Pada tingkat ini, dalam diri manusia terjadi terjadi prosesberulah batin sebagaimana digambarkan Durna sebagai Begawan Sakalima. Begawan dari kata begawato yang berarti murni hayati dan sakalima berarti pancaindria. Jadi hasil pengamatan pancaindria yang masuk ke alam Janaloka telah diproses menjadi aspek kejiwaan yang menghasilkan hidup murni berbudhi pekerti luhur berdasarkan tuntunan budhinya untuk berdarma dan manembah yang berguna untuk memupu kesempurnaan jiwanya.
Proses ini digambarkan dengan Durna sebagai begawan yang berkemampuan mengubah situasi kehidupan manusia di alam Janaloka menjadi bersituasi kehidupan yang dilaksanakan oleh cantrik Janaloka. Cantrik adalah pesuruhBegawan yang senantiasa taat dan tundukmelaksanakan perintah Guru Sejati (begawan). Realisasi pelaksanaan dalam hal ini, sebagaimana dicontohkan dalam kisah wayang dimana sikap Bima senantiasa taat dan tunduk melaksanakan perintah begawan Durna dalam lakon Werkudara – Dewa Ruci sebagaimana dijelaskan dalam sub bab berikutnya.
Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan mengenai esensi falsafah wayang Durna dalam kemasan budaya sebagai berikut:
1.Durna sebagai bibit karya Hawa Nafsu atau pelaksana “Ma-Lima”, dinamakan: Danyang Durna.
2.Durna sebagai bibit karya Nafsu atau pelaksanahewani dan insani, ialah kebutuhanwajarbadani, dinamakan: Pendeta Durna.
3.Durna sebagai bibit karya Karsa atau pelaksana insani, pelaksana ksatria, ialah kebutuhan kejiwaan, dinamakan: Resi Durna.
4.Durna sebagai bibit karya pelaksana Budhi, pelaksana tugas Dewa, sarana karya dharma dan manembah, dinamakan: Begawan Sakalima.
Kamaloka atau alam mani – alam manikum
Alam Kamaloka adalah alam khusus yaitu alam Janaloka tingkat hewani, tempat terjadinya proses aspek kejiwaan mulai saat dari hubungan pria dan wanita sampai kelahiran bayi sebagai akibat perhubungan tersebut yang merupakan rasa luar yang berpusatdi kelamin manusia.
Sebagaimana keterangan di atas,dalam alam tua, yaitu hal alam purwaning tua pada saat mulai adanya karya jiwa berupa beberapa warna budaya (umur 28-40 tahun). Undhi, bola kecil sasaran, dalam cerita ini sebagai lambang intisari lelakon. Hal itu menerangkan manusia pada umur alam purwaning tua akan menerima beberapa pengalaman hidup selama umur 28-40 tahun, menjadikan manusia punya pedoman hidup karena adanya hasil karya jiwa yang diperolehnya. Bila dalam alam purwaning tua manusia tidak dapat menemukan karya jiwanya, maka manusia akan kehilangan obor hidupnya dan akan terjadi malapetaka pada dirinya, berwujud:
üTidak mempunyai arah hidup.
ümudah terguncang jiwanya.
2. Puntodewa main Dhadu melawan Duryudana
Dimulai dengan kedatangan Pandawa menghadiri undangan Pesta Andrawina di Keraton Hastina. Suasana meriah terdengar lagu gamelan yang semarak dengan berbagai pertunjukan yang mempesonakan mengiringi acara Kembul Bujana Andrawina, ialah makan serba nikmat dan mewah.
Dengan tipu daya secara licik yang dilaksanakan oleh patih Sengkuni, maka Puntadewa terjebak dalam permainan judi Dhadhu dengan berakhir Puntadewa kalah dalam bermain dan kalah taruhan. Akibat kekalahan itu semua harta milik termasuk isteri dan negara dikuasai oleh Kurawa. Bukan terbatas demikian, tindakan yang lebih keji dilakukan oleh Kurawa yaitu Pandawa dibuang ke hutan belantara, tanpa rasa kasihan dan tidak ingat bahwa itu saudranya sendiri selama 12 tahun lamanya.
Makna Spiritual dari ceritera Wayang Puntodewa main Dhadu melawan Duryudana tersebut adalah:
1. Dhadhu berbentuk persegi empat, masing-masing muka terdapat titik-titik kecil melambangkanJagad Pesagi (Nurkosmos) dengan titik-titik misterinya.
2.Kurawa dan Pandawa bermain dhadhu melambangkan misteri hidup yang mengelilingi Ragawi (dilambangkan Kurawa) dengan Jiwani (dilambangkan Pandawa). Apabila misteri Ragawi menguasai hidup manusia (dilambangkan Kurawa menang bermain Dhadhu) maka kebahagiaan/ kesejahteraan hidup manusia akan berganti dengan Penderitaan Hidup (dilambangkan hidup dalam pembuangan dalam Hutan Belukar).
3.Kurawa artinya kehidupan badani yang nyawanya darah (hidupnya selalu haus darah, kuru = darah), bila kesadaran akan adanya sinar kebenaran (dilambangkan Puntodewa) sudah dikalahkan atau tertutup ole nafsu karena bujukan setan yaitu (dilambangkan Kurawa) maka tenaga batin suci manusia (dilambangkan Pandawa) terbelenggu oleh hutan belantaranya kehidupan di dunia (dilambangkan Pandawa kalah main Dhadhu dan dibuang ke hutan belantara). Dengan kata lain, bila sinar kebenaran terkalahkan/tertutup oleh nafsu sehingga tak ada kesadaran sama sekali, maka hancurlah kehidupan manusia karena ia telah teracuni darahnya untuk selalu mengejar kepuasan hidup duniawi. Dengan kemenangan Kurawa (Kuru = rahsa = darah) berarti manusia terjebak ke dalam kepuasanangkara atau “ma-lima” yang menutup alam Janalokanya, sehingga hubungannya terputusdengan alam pepadang, sehingga dirinya menjadi manusia jahat. Jadi apabila nafsu manusia di alam Janaloka dibiarkan menguasai dirinya secara bebas tanpa batas maka manusia akan lupa segala–galanya dann ia cenderung menjadi manusia jahat.
4.Arti Lakon Pandawa dan Kurawa bermain Dhadhu (lambang misteri Jagad Pesagi dilambangkan misteri tenaga hidup dalam Mikrokosmos) pada hakekatnya bertujuan menjadikan Manusia pada Alam Madyaning Tua (40-50 tahun) agar senang atau tertarik terhadap misteri Sukma (Sanghyang Manik). Apabila pada umur ini manusia aktif dalam mengembangkan Misteri Sukma (Raja-Yoga), maka Manusia akan mampu masuk ke Alam Spititual.
Begawan Wisrawa menjadi Raja di Kerajaan Lokapala, menggantikan keprabon mertuanya, dan bergelar Prabu Wisrawa. Pada suatu saat Prabu Wisrawa meletakkan jabatan dan melanjutkan darma hidupnya menjadi Begawan, sehingga putranya yang bernama Wisrawana dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Lokapala bergelar Prabu Wisrawana.
Prabu Wisrawana jejuluk Prabu Danapati atau Danaraja, meskipun telah jumeneng raja namun belum nambut silaning akrama (belum menikah).
Pada suatu hari Prabu Wisrawana mendengar berita bahwa Prabu Sumali raja di Ngalengka mengumumkan sayembara dalam rangka mengawinkan putrinya bernama Dewi Sukesi, sebagai berikut, “Barangsiapa dapat mengalahkan Senapati Ngalengka yang bernama Arya Jambumangli akan didaupkan/dinikahkan dengan Dewi sukesi”.
Prabu Wisrawana bertekad akan mengikuti sayembara di Ngalengka itu. Untuk itu, maka Patih Banendra diperintahkan siap dengan Balatentara untuk berangkat ke kerajaan Ngalengka. Tetapi mendadak Sang Prabu kedatangan tamu ayahnya yaitu Begawan Wisrawa.
Begawan Wisrawa setuju putranya Prabu Wisrawana untuk segera melaksanakan silaning akrama, tetapi tidak menyetujui apabila itu dilaksanakan melalui cara peperangan. Kehendak Sang Bagawan Wisrawa, Dewi Sukesi disuwun dengan silakrama yang baik; dengan Sang Begawan menyanggupkan diri untuk melamar Sang Dewi, dengan sarana sowan Prabu Sumali.
Sang Prabu Danaraja setuju dengan kehendak ayahnya. Oleh karena itu, Patih Banendra diperintahkan untuk menarik kembali pasukannya, dan tidak jadi berangkat ke Ngalengka.
Begawan Wisrawa berangkat sendiri ke Kerajaan Ngalengka dalam rangka melamar Dewi Sukesi untuk dikawinkan denganPrabu Danapati, putranya. Kedatangan Begawan Wisrawa di Ngalengka masuk di Taman Argasoka. Pada waktu itu Prabu Sumali sedang beriang hati bersama dengan para garwa dan selirnya. Setelah melihat kedatangan tamu Begawan Wisrawa, Prabu Sumali terperanjat, serta merta menyambut kedatangannya dan dihantar ke Pantisari dan dimohon lenggah di dampar rukmi. Kemudian Prabu Sumali unjuk atur, “Kakang Begawan, berkehendak dan akan dawuh apa sehingga memerlukan ke Taman Argasoka. Hari ini hati saya sangat bergembira karena kedatangan Paduka, laksana kejatuhan Ndaru. Selama ini saya belum pernah merasa sebahagia seperti ini, saya sangat berbahagia menyambut kedatangan Kakang Begawan”.
Setelah mendengar sambutan Prabu Sumali itu, Begawan Wisrawa merasa mendapatkan jalan dan menyampaikan semua tujuan kedatangannya. Kemudian Prabu Sumali menjawab,”Kakang begawan, harap menjadikan kawuningan bahwa prunan Paduka Dewi Sukesi berulangkali menyampaikan prasetyanya, dengan menyatakan, “Biarpun sampai nini nini, apabila belum ada yang dapat menerangkan “Sastrajendra Hayuningrat”, ia tidak akan nambut silaning akrama. Kecuali itu Kakang Begawan, harap menjadi kawuninganbahwa adapenghalang yang malang melintang, yaitu Jambumangli, bergaris saudara nak-derek Sukesi, putra swargi Kakang Malyawan, berkehendak mengawini Sukesi. Untuk itu ia mengadakan sayembara atau pasanggiri, “Pria yang akan mengawini Sukesi untuk dapat terlaksananya, apabila mampu mengalahkan Jambumangli”.
Begawan Wisrawa menanggapinya dengan mengyatakan, “Hatur kawuningan, yayi Prabu. Sastrajendra Hayuningrat itu adalah Rahasia Bawana yang sinengker oleh Sanghyang Jagadnata, oleh karenanya tidak sembarang orang mengetahuinya. Orang yang mengetahui dan dapat mengerti arti dan makna Sastrajendra Hayuningrat kalau mati Sukmanya mengalami Moksa, kembali ke Sangkan Paraning Dumadi.Yayi Prabu, harap menjadikan periksa bahwa Sastrajendra Hayuningrat pangruwating Raksasa (Diyu) itu tidak boleh kawedar di suatu tempat, melainkan berada di Sanggar Palanggatan”.
Prabu Sumali memerintahkan abdi agar membersihkan Sanggar Palanggatan beserta menyiapkan semua uba rampe sesaji yang diminta oleh Begawan Wisrawa. Kemudian Prabu Sumali bersama-sama Begawan Wisrawa masuk ke dalam Sanggar Palanggatan. Sesudah paripurna wejangan Begawan Wisrawa kepada Sang Prabu Sumali, maka mereka bersama-sama ke luar dari Sanggar dan masuk ke dalam Taman. Sesudah menerima wejangan Sastrajendra Hayuningrat, kelihatan Sang Prabu sangat bersuka ria, yang menyebabkan patitising pati dan sempurnanya kamoksan. Kemudian Sang Prabu Sumali memerintah abdinya untuk memanggil Dewi Sukesi. Prabu Sumali bersabda, “Nini Sukesi, ketahuilah, idam-idamanmu mengenai keingintahuan arti dan makna Sastrajendra Hayuningrat bakal terlaksana. Nanti malam engkau akan diwejang oleh Begawan Wisrawa. Pesan saya kepadamu, jangan kamu ragu kepada Sang Begawan, agar kamu anggap Sang Begawan seperti orangtuamu sendiri. Sebab kedatangan Sang Begawan di sini menjadi wakil putranya sendiri, Prabu Danapati raja di Lokapala, untuk meminang kamu dan akan dikawinkan dengan putranya itu. Sang Begawan nanti malam akan melaksanakan permintaanmu untuk memberi wejangan arti dan makna Sastrajendra Hayuningrat”.
Jawab Dewi Sukesi, “Kawula nuwun inggih rama Prabu. Kawula akan melaksanakan dawuh pangandika paduka”.
Prabu Sumali selanjutnya pulang angedaton. Konon pada malam itu tatkala Begawan Wisrawa menerangkan arti dan makna Sastrajendra Hayuningrat, di Ngarcapada terjadi huru hara gara-gara reh kagiri-giri, dan membuat gara-gara sampai ke Suralaya, sehingga membuat gonjang-gonjingnya (goncangan yang dahsyat di) Jonggringsalaka. Bathara Guru mengetahui akan sebab musababnya gara-gara itu, Sang Bathara segera turun ke Taman Argasoka, dihantar Bathari Uma. Datangnya sang Bathara Guru dan Bathari Uma pada malam hari itu tepat pada saat Begawan Wisrawa sedang mejang Sastrajendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi. Dengan niatan menggoga, Bathara Guru manjing ke (masuk ke dalam) badan Begawan Wisrawa, sedangkan Bathari Uma manjing ke badan Dewi Sukesi. Kejadian itu membuat Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi timbul dorongan rasa cinta birahi asmara, sehingga Begawan Wisrawa kasmaran terhadap Dewi Sukesi dan Dewi Sukesi timbul gairah seksual kepada Begawan Wisrawa. Oleh karena itu, Sang Begawan Wisrawa dan Sang Dewi Sukesi kemudian melakukan hasrat seksualnya dan bersaresmi. Sesudah melakukan bersaresmi, kedua-duanya merasakan bahwa diri mereka terkena coba Dewata. Selanjutnya Sang Begawan dan Sang Dewi selalu bersaresmi berulang kali.
Perbuatan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, lama kelamaan ketahuan Sang Prabu Sumali, dan berakhir Sang Prabu mupus pepesthening Jawata (pasrah atau sumendhe ing tahdir). Tetapi Sang Arya Jambumangli, setelah mendengar kabar perbuatan maksiat Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi, serta merta panasbaran marah, segera masuk ke Taman Argasoka dan menantang perang melawan Begawan Wisrawa. Mendengar tantangan Jambumangli maka Begawan Wisrawa ke luar dan menyambut tantangannya. Akhirnya peperangan berakhir dengan dimenagkan oleh Begawan Wisrawa.Sewafat Jambumangli, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi dijemput masuk ke Pantisari.
Prabu Wisrawana yang bernama juga Prabu Danaraja atau Prabu Danapati mempunyai patih bernama Patih Banengra. Sang prabu mempunyai balatentara Bacanggih atau balatentara campuran antara balatentara manusia dan balatentara Raksasa dengan pemimpin senapati sendiri-sendiri. Senapati Balatentara Manusia berjumlah empat, yaitu: (1) Citrajaya, (2) Citrasudirga, (3) Citragana, dan (4) Citrasakti; sedangkan Senapati Balatentara Raksasa juga berjumlah empat, yaitu: (1) Guhmuka, (2) Rukmuka, (3) Gurmuka, dan (4) Wisnungkara. Prabu Wisrawana mempunyai titihan kereta dari Dewa bernama Wimana Pustakayang ditarik dengan kuda delapan; bersenjatakan Kunta Baswara pemberian dari Dewa dilengkapi dengan berbagai macam jemparing.
Sang Prabu Wisrawana setelah mendengar berita tentang ayahnya Begawan Wisrawa mengawini Dewi Sukesi maka ia menjadi marah dan membawa Balatentaranya menyerang kerajaan Ngalengka untuk menghukum ayahnya sendiri. Maka terjadilah perang antara Begawan Wisrawa melawan anaknya sendiri yaitu Prabu Wisrawana. Prabu Wisrawana mengeluarkan segala kadigdayaannya, namun selalu kalah terhadap ayahnya. Oleh karena itu, Sang Prabu Wisrawana berniat untuk membunuh ayahnya dengan mengeluarkan senjata andalannya yaitu Kunta Baswara.
Begawan Wisrawa setelah melihat anaknya Prabu Wisrawa memegang jemparing Kunta Baswara, maka ia siap akan mati dan berserah diri kepada Dewa. Kejadian itu ketahuan oleh Batara Narada, maka peperangan dihentikan, dengan bersabda, “Kaki Prabu Danaraja, seyogyanya Kaki Prabu mundur, perbesar Tapa Brata dan Samadi, mintalah maaf kepada sudarmamu”. Prabu Wisrawana lalu turun dari Kereta Pusaka dan menyembah serta minta maaf kepada Begawan Wisrawa. Kemudian Prabu Wisrawana ditabiskan oleh Dewa dan diangkat menjadi Dewa bernama Batara Wisrawana atau Batara Kuwera yaitu dewanya kekayaan atau Rajabrana.
Inti ajaran moral yang dikemas dalam ceritera wayang Begawan Wisrawa tersebut adalah:
1.Silsilah Ngalengka adalah keturunan dari Batara Daksa yang menurunkan Darah Raksasa (atau Nafsu Angkara). Dewi Sukesi sebagai wadah lahirnya Sifat Angkara (berputra Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana), dengan gambaran sebagai berikut:
a.Dasamuka menggambarkan manusia yang murni angkara atau sifat membunuh yang keji.
b.Kumbakarna menggambarkan manusia yang menakutkan karena kekejamannya tetapi tidak membunuh, menyiksa.
c.Sarpakenaka menggambarkan manusia yang menyakitkan, memfitnah.
d.Wibisana = sadar bahwa sifat angkara adalah sesat.
2.Resi Wisrawa melambangkan adanya sifat Suci yang masih duniawi, akibatnya apabila kurang hati-hati akan membuahkan sifat:
a. Negatif = Sifat suci apabila dicampur dengan perilaku duniawi, dicampur dengan perbuatan yang mengarah ke rasa puas atau rasa nikmat duniawi, niscaya akan terperosok ke perbuatan nalisir ing beberer.
b. Positif =Kehidupan duniawi dapat menunjang tujuan suci apabila
kehidupan manusia disertai dengan perilaku “eling” yang diwujudkan perilaku yang berasaskan “kewajiban dan tanggung jawab” dan moral “disiplin”.Sebagaimana digambarkan prabu Wisrawana dalam akhir hidupnya menjadi “Dewa Kuwera”, sesudah ia lulus dan berbakti kepada orang tuanya.