Durna menjadi Guru Pandawa dan Kurawa
Diceritakan pada suatu saat para Rajaputra dan Kurawa sedang bermain-main melempar Undhi, di suatu tempat lapangan di luar
Saat itu Durna sedang berada di pinggir lapangan dan melihat para putra sedang bermain Undhi. Pada saat undhi jatuh ke dalam sumur, Durna segera menghampiri para putra, dan berkata, “Kalian para putra sangat gagah dan perkasa tetapi sangat memalukan, hanya mengambil Undhi masuk ke dalam sumur saja tidak mampu mengambilnya. Coba lihatlah Undhi yang akan saya ambil dari dalam sumur”. Durna mengambil Undhi dengan segenggam alang-alang yang dipegang dengan tangan kanan. Alang-alang dilemparkan ke dalam sumur satu persatu. Alang-alang pertama terkena Undhi, alang-alang kedua menyambung dengan alang-alang pertama, begitu seterusnya alang-alang dilemparkan satu per satu dan terjadi saling sambung-menyambung sehingga sampai atas ke mulut sumur. Akhirnya alang-alang ditarik dab Undhi tertarik ke atas dan dipegang oleh Bima.
Melihat kejadian itu para putra Kurawa dan Pandawa terheran-heran, salah satu putra ada yang lari ke Keraton melaporkan kejadian itu kepada Resi Bisma, bahwa ada seseorang yang sakti. Karena adanya laporan bahwa di luar kota ada orang yang sakti mandraguna, Resi Bisma segera menjumpainya. Sesudah terjadi pembicaraan antara Resi Bisma dengan Durna, maka Durna dibawa ke Keraton, untuk dijadikan Guru Pandawa dan Kurawa, sekalian diangkat menjadi Parampara Prabu Destrarasta. Pendeta Durna pepethingan para Brahmana adalah sakti mandraguna. Tiap pagi dari matahari terbit sampai sore matahari terbenam, ia memberi pelajaran dan tuntunan Keprajuritan dan Ulahkrida peperangan kepada para putra Pandawa dan Kurawa.
Makna Spiritual dari ceritera Wayang Durna menjadi Guru Pandawa dan Kurawa tersebut adalah:
1. Undhi adalah bola kecil sasaran panah, dalam cerita ini sebagai lambang inti sari lelakon.
2. Pandawa sebagai lambang Pakarti Batin.
3. Kurawa sebagai lambang Pakarti lahir/badani.
4. Pandawa dan Kurawa bermain-main lempar-melempar Undhi melambangkan terjadinya Lelakon, adalah menjadi sumber palajaran untuk pegangan Hidup di Dunia.
5. Sumur adalah sumber air melambangkan sumber pelajaran atau sumber ilmu.
6. Bima melempar Undhi dan masuk ke dalam sumur melambangkan hidup di dunia adalah bertekad (dilambangkan Bima) belajar dari semua ragam lelakon, intisari lelakon (dilambangkan Undhi) dapat menjadikan pedoman Hidup.
Pelaksanaan Hidup/Kehidupan di dunia di Alam Janaloka
Sebelum kita mempelajari hal-hal yang lebih dalam, Kasunyatan yang nyata kita “Rasakan” dalam badan wadag/badan jasmani/ragawi, adalah:
- Rasa badan dalam bentuk: biasa – enak – sakit.
- Rasa adanya nafsu atau karep/kehendak untuk mendapat: rasa enak – puas – nikmat.
Rasa yang merasakan adanya alam/badan wadag adalah rasa enak – rasa sakit – rasa kehendak/nafsu, maka terjadilah hidup dan kehidupan semua umat atau jana, satu sama lain tidak berbeda yaitu berlangsung dalam alam atau loka yang sama.
Jadi jelaslah bahwa setiap jana (umat manusia) mempunyai alam untuk hidup dan melaksanakan kehidupan. Hal ini berlangsung di alam Janaloka yaitu alam awal dalam berhubungan dengan jagad raya. Alam Janaloka adalah alam dalam keadaan awal, yaitu keadaan manusia sebelum umat (jana) tahu akan perkembangan pikirnya. Untuk itu maka rasa badani juga dinamakan rasa hewani, karena tujuannya hanya untuk mencapai rasa: puas – enak – senang – nikmat, tanpa pertimbangan budi dan pikir. Rasa puas – senang – nikmat itu dapat menghasilkan keselamatan atau kesejahteraan manusia, tetapi sebaliknya hal itu juga dapat mendatangkan kerusakan atau kehancuran hidup manusia.
Puas, enak, senang, dan nikmat yang mendatangkan kerusakan dan kehancuran adalah rasa luar atau rasa badani, suatu rasa yang timbul dan berkembangnya tanpa dikendalikan oleh pikir, rasa ini berlangsung dalam alam janaloka. Guna menghindari kehancuran perlu adanya ilmu dan pengertian yang mampu menyelamatkan rasa badani atau rasa luar dalam janaloka, sebab rasa badani juga sangat dibutuhkan pula guna menerima materi suci yang berupa pelajaran dan pengalaman akan pentingnya jasmani sebagai pelaksana rokhani. Unsur janaloka merupakan unsur pakarti /perilaku/perbuatan, maka menyelamatkan unsur ini adalah sangat penting arti dan perannya bagi tumbuh dan berkembangnya rokhani manusia dalam kesempurnaan hidupnya. Pakarti dalam alam janaloka tanpa memperoleh sinar kebenaran dari sinar rasa sejati (cethana) yaitu melalui guruloka dan indraloka sebagai unsur budi akan menghasilkan perbuatan yang merugikan atau mengotori jiwa/unsur rokhani. Jadi pengaruh dari alam lain sangat diperlukan, sebab dari alam indraloka dan guruloka sebagai unsur budi/pikir tidak akan dapat mewujudkan atau terjadi kenyataan perbuatan.
Untuk itu maka pakarti/perbuatan manusia dari adanya karep – karsa – jiwa tergantung pada pelaksana badani/ragawi di alam janaloka. Pemeliharaan alam janaloka agar tetap dalam kondisi kodrati/alami, merupakan bentuk perjuangan atau lampah bagi siapa pun yang menghendaki kebersihan jiwanya terhadap adanya kekotoran hidup/dosa.
Pengertian pelaksanaan alam janaloka kiranya mudah ditangkap dengan akal dan nalar, tetapi dalam wujud perbuatan sangat sukar melaksankannya. Kesulitan manusia dalam melaksanakan perbuatan bersih dikarenakan rintangan atau hambatan tidak hanya berupa sesuatu yang mudah nalar, tetapi juga berupa kekotoran yang bersifat kejiwaan/spiritual yang letaknya dalam misteri rahsa. Untuk itu maka penyelesaiannya tidak lagi hanya dalam pokok pola pikir umum atau intelektualisme, tetapi juga harus dengan pokok pola pikir budaya atau kejiwaan/spiritual.
Alam Janaloka Dalam Pengertian Budaya atau Kejiwaan.
Pengertian spiritual sebagai pokok pola pikir budaya dalam alam Jana Loka menurut budaya Jawa diberikan penjelasan dengan paparan pola pikir budaya yang dilambangkan wayang atau lakon wayang. Jenis wayang dalam alam Janaloka adalah wayang Mahabarata sebagai berikut:
1. Durna sebagai bibit karya dilambangkan dengan berbagai sebutan:
1. Danyang Durna melambangkan peran raksasa
2. Pendeta Durna melambangkan peran hewan
3. Resi Durna melambangkan peran satria
4. Begawan Sakalima (Maharesi) melambangkan peran Dewa
2. Kurawa terdiri dari 100 Satria Kurawa melambangkan 100 macam nafsu (karep) badani manusia.
3. Kala durga adalah raksasa melambangkan sukerta atau kekotoran jiwa (dosa).
4. Kalantaka dan Kalanjaya adalah lambang goda:
· Kalantaka = Citrasena
· Kalanjaya = Citranggada
5. Kalika adalah brekasakan melambangkan rokh jahat atau Sembangrapet.
6. Dewi Kunthi Talibranta melambangkan bibit budi luhur.
7. Destrarasta langkahnya membabi buta melambangkan bibit emosi.
8. Pandu Dewanata adalah pelopor hukum pepadang melambangkan bibit pepadang (horisontal)
9. Begawan Abiyasa melambangkan manusia sempurna atau bibit kasunyatan
10. Nangkula dan Sadewa melambangkan karya batin berkepribadian
- Nangkula melambangkan percaya diri
- Sadewa melambangkan pepadang
11. Naga Cundala terdiri dari naga cundala yang berada di:
a. Bagian atas, disebut : - Sakalima atau Pancaindria.
b. Bagian bawah, disebut : - Kamaloka atau alam mani dan alam manikum
Sakalima Loka atau Pancaindria:
Sakalima adalah penguat berjumlah
1. Hidung : pencium (pengambu).
- Punya rasa pencium, namanya: mencium.
- Bahan pencium, namanya: bauhan, gandan.
2. Mata : penglihatan (pandulu).
- Punya rasa penglihatan, namanya: melihat.
- Bahan penglihatan, namanya: wujudan, rerupaan
3. Telinga : pendengaran (pangrungu)
- Punya rasa pendengaran, namanya: mendengar.
- Bahan pendengaran, namanya: pendengaran, suara, bunyi
4. Lidah : perasa (pangecap)
- Punya rasa perasa, namanya: merasakan.
- Bahan perasa, namanya: manis, asin, pahit, gurih, dll.
5. Badan : peraba (pangrasa)
- Punya rasa peraba, namanya: merasakan.
- Bahan peraba, namanya: panas, dingin, enak, nikmat, dll.
Panca indria adalah alat penghubung atau alat komunikasi manusia sebagai Mikrokosmos dengan Makrokosmos, untuk memperoleh bahan yang kemudian menjadi aspek kejiwaan. Bahan yang diserap masing-masing Indria kemudian masuk ke alam Janaloka menjadi aspek kejiwaan/bibit karya yang disebut nafsu digambarkan sebagai Durna.
Untuk itu tugas Durna dapat dijelaskan dalam uraian yang bersifat maknawi melalui gegambaran empat macam tugas Durna berikut ini.
a. Durna sebagai bibit karya/Hawa Nafsu atau sebagai pelaksana “ma-lima”, ialah:
1) Main = berjudi.
2) Mangan = pecandu makan.
3) Minum = pemabuk minuman keras.
4) Madad = pemakai candu, narkotik, ganja, dll.
5) Madon = main kelamin atau mesum atau berzina.
Durna sebagai bibit karya “ma-lima” dapat menimbulkan perbuatan jahat atau angkara. Durna yang berfungsi pelaksana watak demikian, yaitu watak raksasa, dinamakan Danyang Durna.
b. Durna sebagai bibit karya Nafsu yang merupakan kebutuhan wajar badani.
Nafsu dengan alat panca indria melakukan/menghubungkan kebutuhan badani dan jiwani dalam tingkat belum berpedoman pada ilmu atau belum berilmu, sehingga menghasilkan karya perbuatan Durna sebagai guru untuk mengetahui kesalahan dan kebenaran. Jadi bibit karya atau Durna, melakukan perbuatan untuk menghasilkan hasil karya sebagai Guru.
Dengan demikian, berarti bibit karya atau nafsu (yang digambarkan sebagai Durna) adalah nafsu untuk melaksanakan karya kebutuhan jiwa dan badani (yang dilukiskan Durna sebagai guru Pandawa dan Kurawa). Dalam hal ini Durna dipanggil dengan sebutan Pendeta Durna.
Pendeta Durna adalah guru yang sangat sakti mandraguna, ahli guna kesaktian, jaya kawijayan, ulah gelarnya barisan serta penggunakan segala senjata. Berkat pelajaran yang disampaikan oleh pendeta durna kepada para putra Pandawa dan Kurawa, maka berbagai kemahiran telah diperolehnya, antara lain:
q Bima dan Duryudana ahli perang gada.
q Aswatama ahli ilmu dhanurwenda (ahli memanah)
q Nangkula dan Sadewa ahli ulah pedang.
q Yudistira ahli mangreh turangga (barisan kuda).
q Harjuna menguasai semuanya, terutama dalam ulah jemparing atau memanah, umpamanya:
- Melepaskan agneyastra, ialah jemparing dahana (api).
- Melepaskan barunaastra, ialah jemparing air.
- Melepaskan parjayastra, ialah jemparing mega.
- Melepaskan bayabyastra, ialah jemparing angin.
- Melepaskan parwatyastra, ialah jemparing tanah.
- Melepaskan antardanastra, ialah jemparing netralisasi.
Pendeta Durna sebagai bibit karya alami selaku guru pada pandawa dan kurawa, berarti pancaindria sebagai alat pelaksana karya alami, menjadi perantara atau guru untuk kepentingan batiniah/pandawa dan lahiriah/kurawa.
Dengan demikian jelas bahwa aspek kejiwaan/nafsu di alam Janaloka yang digambarkan sebagai Pendeta Durna merupakan materi alami yang hanya satu dan sama diterima oleh organ yang berbeda latar belakang dan perkembangannya. Sehingga bibit yang sama, diterima para Putra Pandawa disesuaikan dengan sifat dan budhi nurani Pandawa akan meningkat ke unsur karsa, sedang yang diterima para Putra Kurawa (duniawi) akan menjadi unsur karep/nafsu.
Jadi sebagai kesimpulan bahwa hasil karya pancaindria yang alami, demikian masuk ke alam Janaloka menjadi aspek jiwa alami yang dalam perkembangannya dapat menjadi karsa sebagai unsur positif dan juga dapat menjadi karep sebagai unsur negatif. Oleh karena itu nafsu dalam alam Janaloka berguna pula untuk mengejar kepuasan keserakahan yang dapat menyesatkan atau untuk mengejar kebaikan budi yang menyelamatkan.
c. Durna sebagai bibit karya karsa yaitu pelaksana tugas insani
Dalam hal Durna sebagai bibit karya karsa yaitu menjalankan tugas insani, Durna bertindak sebagai ksatria, dengan kalima saka (sakalima) yaitu pancaindria menyerap unsur-unsur makrokosmos untuk dimasukkan ke dalam Janaloka menjadi aspek kejiwaan/nafsu. Sehubungan tugas Durna sebagai ksatria, ia harus senantiasa berdharma bakti menegakkan kebenaran, sehingga dengan demikian aspek kejiwaannya secepatnya terbentuk dan berkecenderungan meningkat menjadi beraspek kejiwaan positif yang dinamakan karsa. Hal ini terjadi karena sinar kebenaran bagi seorang ksatria lebih kuat daripada pengaruh negatif yang ada pada nafsunya. Oleh karena itu, maka kecenderungan perkembangan aspek kejiwaan yang adapada dirinya senantiasa mengarah kepada kesempurnaan jiwanya.
Kebersihan jiwa dapat dicapai dengan melakukan banyak berbuat kebaikan, memberi pertolongan, melakukan jasa kemanusiaan. Jadi pancaindria seorang ksatria ibaratnya sebagai pacul (cangkul) atau arit (sabit) bagi petani (manusia) dalam menanam pohon kebaikan.
Buah dari pohon kebaikan dapat dicerna oleh jiwa manusia untuk kesehatan jiwanya. Jadi bibit karya yang digambarkan sebagai Durna dalam alam Janaloka ini bukan Durna sembarang Durna, tetapi Durna yang telah melakukan perbuatan atau kebersihan atau kesempurnaan jiwa. Dengan demikian berarti bahwa bibit karya yang digambarkan sebagai Durna yang telah melaksanakan perjuangan guna kemenangan jiwanya itulah karya perjuangan seorang ksatria Durna. Dalam hal ini Durna dinamakan resi, lengkapnya Resi Durna.
d. Durna sebagai bibit karya pelaksana budhi, yaitu pelaksana tugas Dewa
Durna sebagai bibit karya pelaksana budhi, menggambarkan bahwa aspek kejiwaan yang berupa nafsu sedemikian cepat berubah status menjadi aspek kejiwaan berupa karya budhi (berbudhi pekerti luhur) yang menunjang proses penyempurnaan sukma manusia.
Pada tingkat ini, dalam diri manusia terjadi terjadi proses berulah batin sebagaimana digambarkan Durna sebagai Begawan Sakalima. Begawan dari kata begawato yang berarti murni hayati dan sakalima berarti pancaindria. Jadi hasil pengamatan pancaindria yang masuk ke alam Janaloka telah diproses menjadi aspek kejiwaan yang menghasilkan hidup murni berbudhi pekerti luhur berdasarkan tuntunan budhinya untuk berdarma dan manembah yang berguna untuk memupu kesempurnaan jiwanya.
Proses ini digambarkan dengan Durna sebagai begawan yang berkemampuan mengubah situasi kehidupan manusia di alam Janaloka menjadi bersituasi kehidupan yang dilaksanakan oleh cantrik Janaloka. Cantrik adalah pesuruh Begawan yang senantiasa taat dan tunduk melaksanakan perintah Guru Sejati (begawan). Realisasi pelaksanaan dalam hal ini, sebagaimana dicontohkan dalam kisah wayang dimana sikap Bima senantiasa taat dan tunduk melaksanakan perintah begawan Durna dalam lakon Werkudara – Dewa Ruci sebagaimana dijelaskan dalam sub bab berikutnya.
Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan mengenai esensi falsafah wayang Durna dalam kemasan budaya sebagai berikut:
1. Durna sebagai bibit karya Hawa Nafsu atau pelaksana “Ma-Lima”, dinamakan: Danyang Durna.
2. Durna sebagai bibit karya Nafsu atau pelaksana hewani dan insani, ialah kebutuhan wajar badani, dinamakan: Pendeta Durna.
3. Durna sebagai bibit karya Karsa atau pelaksana insani, pelaksana ksatria, ialah kebutuhan kejiwaan, dinamakan: Resi Durna.
4. Durna sebagai bibit karya pelaksana Budhi, pelaksana tugas Dewa, sarana karya dharma dan manembah, dinamakan: Begawan Sakalima.
Kamaloka atau alam mani – alam manikum
Alam Kamaloka adalah alam khusus yaitu alam Janaloka tingkat hewani, tempat terjadinya proses aspek kejiwaan mulai saat dari hubungan pria dan wanita sampai kelahiran bayi sebagai akibat perhubungan tersebut yang merupakan rasa luar yang berpusat di kelamin manusia.
Sebagaimana keterangan di atas, dalam alam tua, yaitu hal alam purwaning tua pada saat mulai adanya karya jiwa berupa beberapa warna budaya (umur 28-40 tahun). Undhi, bola kecil sasaran, dalam cerita ini sebagai lambang intisari lelakon. Hal itu menerangkan manusia pada umur alam purwaning tua akan menerima beberapa pengalaman hidup selama umur 28-40 tahun, menjadikan manusia punya pedoman hidup karena adanya hasil karya jiwa yang diperolehnya. Bila dalam alam purwaning tua manusia tidak dapat menemukan karya jiwanya, maka manusia akan kehilangan obor hidupnya dan akan terjadi malapetaka pada dirinya, berwujud:
ü Tidak mempunyai arah hidup.
ü mudah terguncang jiwanya.
2. Puntodewa main Dhadu melawan Duryudana
Dimulai dengan kedatangan Pandawa menghadiri undangan Pesta Andrawina di Keraton Hastina. Suasana meriah terdengar lagu gamelan yang semarak dengan berbagai pertunjukan yang mempesonakan mengiringi acara Kembul Bujana Andrawina, ialah makan serba nikmat dan mewah.
Dengan tipu daya secara licik yang dilaksanakan oleh patih Sengkuni, maka Puntadewa terjebak dalam permainan judi Dhadhu dengan berakhir Puntadewa kalah dalam bermain dan kalah taruhan. Akibat kekalahan itu semua harta milik termasuk isteri dan negara dikuasai oleh Kurawa. Bukan terbatas demikian, tindakan yang lebih keji dilakukan oleh Kurawa yaitu Pandawa dibuang ke hutan belantara, tanpa rasa kasihan dan tidak ingat bahwa itu saudranya sendiri selama 12 tahun lamanya.
Makna Spiritual dari ceritera Wayang Puntodewa main Dhadu melawan Duryudana tersebut adalah:
1. Dhadhu berbentuk persegi empat, masing-masing muka terdapat titik-titik kecil melambangkan Jagad Pesagi (Nurkosmos) dengan titik-titik misterinya.
2. Kurawa dan Pandawa bermain dhadhu melambangkan misteri hidup yang mengelilingi Ragawi (dilambangkan Kurawa) dengan Jiwani (dilambangkan Pandawa). Apabila misteri Ragawi menguasai hidup manusia (dilambangkan Kurawa menang bermain Dhadhu) maka kebahagiaan/ kesejahteraan hidup manusia akan berganti dengan Penderitaan Hidup (dilambangkan hidup dalam pembuangan dalam Hutan Belukar).
3. Kurawa artinya kehidupan badani yang nyawanya darah (hidupnya selalu haus darah, kuru = darah), bila kesadaran akan adanya sinar kebenaran (dilambangkan Puntodewa) sudah dikalahkan atau tertutup ole nafsu karena bujukan setan yaitu (dilambangkan Kurawa) maka tenaga batin suci manusia (dilambangkan Pandawa) terbelenggu oleh hutan belantaranya kehidupan di dunia (dilambangkan Pandawa kalah main Dhadhu dan dibuang ke hutan belantara). Dengan kata lain, bila sinar kebenaran terkalahkan/tertutup oleh nafsu sehingga tak ada kesadaran sama sekali, maka hancurlah kehidupan manusia karena ia telah teracuni darahnya untuk selalu mengejar kepuasan hidup duniawi. Dengan kemenangan Kurawa (Kuru = rahsa = darah) berarti manusia terjebak ke dalam kepuasan angkara atau “ma-lima” yang menutup alam Janalokanya, sehingga hubungannya terputus dengan alam pepadang, sehingga dirinya menjadi manusia jahat. Jadi apabila nafsu manusia di alam Janaloka dibiarkan menguasai dirinya secara bebas tanpa batas maka manusia akan lupa segala–galanya dann ia cenderung menjadi manusia jahat.
4. Arti Lakon Pandawa dan Kurawa bermain Dhadhu (lambang misteri Jagad Pesagi dilambangkan misteri tenaga hidup dalam Mikrokosmos) pada hakekatnya bertujuan menjadikan Manusia pada Alam Madyaning Tua (40-50 tahun) agar senang atau tertarik terhadap misteri Sukma (Sanghyang Manik). Apabila pada umur ini manusia aktif dalam mengembangkan Misteri Sukma (Raja-Yoga), maka Manusia akan mampu masuk ke Alam Spititual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar